MEMILIH DAN DIPILIH: Apakah Ta’aruf Membeli Kucing dalam Karung? Oleh Salsabilla Else
MEMILIH DAN DIPILIH: Apakah Ta’aruf Membeli Kucing dalam Karung?
Oleh Salsabilla Else
Dalam melanjutkan hubungan serius, menentukan pilihan calon pasangan
terbaik tentu sangat penting. Jika harus memilih pilihlah yang terbaik
dari pilihan-pilihan yang baik. Jika harus dipilih, jadilah pilihan
terbaik. Bukan cadangan atau pelampiasan.
Menikah seperti akhir dari
pengembaraan. Seandainya saat ini nomaden, pindah dari satu tempat ke
tempat yang lainnya. Baik itu untuk pekerjaan, menuntut ilmu ataupun hal
lainnya. Pada akhirnya, akan menetap di suatu tempat. Di mana, setelah
itu akan tinggal dan bersosialiasi dalam waktu yang tidak ditentukan.
Ibarat pulang, tentu membutuhkan sebuah rumah yang aman dan nyaman.
Rumah itulah yang kemudian disebut dengan rumah tangga.
Di usia 20 tahun pemikiran menikah pasti ada, tapi cenderung labil. Masih melihat segi duniawi, harta, fisik dan lainnya. Semakin dewasa usia, semakin naik pula level pola pikir dan cara pandang dalam menentukan pilihan hidup. Saat memasuki usia matang, tentu hal semacam tampan dan kaya saja tidak cukup. Pilihannya ialah pasangan yang satu visi dan misi dalam menjalankan rumah tangga dan mendidik anak. Berat lho, berat banget. Untuk itu, dalam menjalankan rumah tangga suami dan istri harus sepakat. Baik dalam visi dan misi pernikahan maupun cara pandang dalam mendidik serta membesarkan anak-anak. Nahkoda harus tahu kemana ia akan berlayar bersama armadanya. Keduanya harus saling sepakat arah dan tujuan akhir pernikahan, misalnya masalah tempat tinggal. Akan tinggal di kontrakan, beli rumah atau numpang mertua. Akan lebih baik mandiri, tinggal terpisah dengan orang tua walaupun ngontrak dan kekurangan secara finansial. Orang tua, kalau sudah terlibat dalam rumah tangga anak tentu mendatangkan musibah. Iya, kalau mertua semacam Abu Bakr atau Umar bin Khattab. Yang dibenarkan menantu bukan anaknya. Kenyataan saat ini sebalinya. Ini bisa menyembabkan rumah tangga berantakan.
Bagaimana kita mengetahui karakteristik calon pasangan, sedangkan tidak pacaran?
Tentu saja dengan ta’aruf. Mengenal calon secara syar’i dengan jalan keridhoan Allah. Ta’aruf tentu harus sesuai syariat juga, ada mediator yang mendampingi sebagai penghubungan keduanya. Ini mencegah kholwat yang biasa terjadi, chatting pribadi termasuk kholwat yang dilarang. Jangan sampai niatnya ta’aruf,
justru terjerumus pacaran. Sangat dianjurkan membuat grup bersama kedua
calon dan mediator, isinya hanya bertiga atau boleh dengan keluarga. Di
grup tentu bebas bertanya banyak hal tentang calon pasangan tanpa
batasan. Mengenalkan keluarga dan lainnya. Biodata ta’aruf saja tidak akan cukup mengenal.
Ini semacam membeli kucing dalam karung gak sih?
Ini yang kebanyakan orang tidak paham proses ta’aruf, konsep ta’aruf dan SOP ta’aruf. Karena tidak paham diawal, sehingga takut berlebihan sebelum mencoba proses ini.
Sedikit cerita, saya termasuk yang paling detail saat proses ta’aruf.
Ya, walaupun sampai saat ini proses itu belum menemukan pelabuhannya.
Gagal berulang kali, terjebak dengan kerikil dan akhirnya terjatuh.
Kecewa dan sedih manusiawi, tetapi itu bukan akhir dari segalanya.
Sederhananya belum berjodoh, titik. Perihal proses ta’aruf, saya tidak sembarangan menolak maupun menerima seseorang. Tentu saja, untuk melalui proses ta’aruf
tidak bisa menggunakan hukum praduga. Harus ada data dan realita
sebagai acuan dan penguat alasan. Sebelumnya, melalui tulisan ini saya
ingin meminta maaf. Jika pembaca tulisan ini salah satu ikhwan yang
pernah saya tolak.
Banyak yang mengatakan bahwa saya terlalu selektif
dalam memilih calon suami. Bagi saya tentu saja ini sangat penting
melalui proses penyeleksian yang tepat dan sangat wajar. Karena imam dan
ayah anak-anak harus berkelas dan berkualitas. Akan lebih baik kalau
pasangan lebih cerdas dan pintar, sehingga bisa belajar dari suami tanpa
perlu keluar rumah. Minimal imbang dalam pola pikir serta keilmuannya.
Saya akui bahwa saya sangat perfeksionis dalam menentukan pilihan.
Lelaki itu harus sempurna sesuai dengan kriteria. Akan tetapi, saya
menyadari bahwa manusia tidak sempurna termasuk saya. Makanya,
diminimalisir dengan visi dan misi pernikahan.
Bagaimana saya bisa menilai baik atau buruk calon?
Mudah sekali,
sekarang dapat menggunakan media sosial untuk mengenal dan
mempertimbahkan calon pasangan. Yang saya lakukan saat proses dengan stalking media sosial, dari Instagram, Facebook, Twitter
dan lainnya. Cek setiap postingan media sosial, lihat orang-orang
terdekatnya. Biasanya kalau orang terdekat yang sering muncul dalam
komentar atau yang sering ditandai dalam setiap postingannya. Lalu chat satu persatu dengan tujuan mengulik informasi. Kemudian bandingkan dengan CV atau biodata ta’aruf dan tentu saja melibatkan Allah dalam setiap proses.
Kenapa harus sejauh itu?
Tentu saja, perlu dipastikan bawah kita tidak salah dalam mengambil keputusan untuk menikah dan memilih calon pendamping hidup.
Pastikan juga keseriusan lelaki, sebagai wanita penting memberikan
ketegasan kepada lelaki. Seandainya dia beralasan dengan dalih tidak syar’i, sudah skip
saja. Sebab, lelaki yang serius tidak akan memberikan banyak alasan
untuk menghalalkan. Semisal alasannya belum ada uang, ini jelas tidak syar’i.
Karena lelaki yang siap dan mampu sudah pasti mempersiapkan ini sebelum
melamar. Jadi nih untuk para lelaki, seandainya belum ada modal nikah
jangan membuat janji atau komitmen dengan perempuan. Lebih baik
persiapkan diri secara materii, ilmu dan mental.
Salim A Fillah pernah menjelaskan, seperti apa lelaki yang dikatakan mampu untuk menikah?
- Mampu secara seksual (berhubungan suami istri).
- Mampu memberikan mahar.
- Mampu menafkahi.
Mampu di sini tidak dijelaskan besaran nilai, tentu saja sesuai kemampuan. Modal dan usaha sendiri, bukan hasil pinjaman atau meminta kepada orang tua. Jika saja kriteria itu belum dimiliki atau belum mampu, lebih baik mundur. Jangan memberikan harapan berlebihan kepada wanita.
Penting juga untuk wanita pahami. Bahwa dengan memutuskan menikah, wanita sudah siap diatur hidupnya oleh orang asing. Suaminya. Siap berbakti tanpa membatah. Siap menjaga kehormatan diri dan suami. Siap meninggalkan pekerjaan untuk suami dan anak-anak. Seandainya masih egois atau ingin menang sendiri, artinya belum siap. Dan untuk memenuhi kriteria siap, keduanya perlu ilmu dalam pernikahan. Bukan indahnya, tapi semua pernak-pernik pernikahan dan segala kemungkinan yang akan terjadi dalam rumah tangga. Siap lahir maupun batin.
Ada yang berkomentar begini, saya kebanyakan baca buku indahnya
pernikahan. Terlalu baper dan ingin segera menikah karena indahnya saja.
Ini pemikiran yang sangat salah. Kenapa? Karena selama 24 tahun ini,
saya belajar ilmu parenting bukan di buku saja. Justru ada dalam
keseharian lingkungan dan bahkan keluarga sendiri. Salah satunya broken home,
kegagalan orang tua memberikan pelajaran yang sangat berharga. Dalam
kacamata sederhana saya, menikah itu hanya luka dan kecewa. Selain itu,
bahkan pernah menyaksikan dan mendengar dengan jelas pertengkaran
sepasang suami istri. Beradu mulut di tengah malam setiap hari, saling
melempar barang, hingga melukai anak akibat lemparan gelas ulah
orang tuanya. Jadi, bayangan pernikahan yang romantisme di mana? Hanya
ada dalam novel, film telenovela, film romantis atau seperti sebuah lagi
Aisyah Istri Rasulullah.
Untuk itulah pentingnya belajar Fiqh
Keluarga, buku-buku pernikahan, ilmu parenting dan kajian lainnya.
Seandainya bekal ilmu pernikahan minim atau saat menikah tidak sama-sama
belajar ilmu. Tentu saja, masalah perceraian, main serong,
banyak menutut, curhat dengan lawan jenis, curhat di media sosial akan
terjadi dalam pernikahan. Ingin dimengerti, tapi tidak mau mengerti.
Bukan bagaiman dia harus menjadi sempurna, tapi bagaimana diri Anda
menjadi pasangan terbaik dan sempurna bagi pasangan Anda.
Saya menyadari bahwa bicara permasalah ini seolah tahu banyak. Tentu bagi saya berat belajar ilmu tanpa praktek. Minimal, saya belajar sebelum melangkah. Begitu.
Ilmu sudah ada, usia sudah matang, kok belum menikah?
Pertanyaan
legendaris yang sering didengar. Dan saya tidak memiliki jawaban selain
belum ada jodohnya saja. Kalau mengalami hal yang sama, sudah abaikan
saja. Terus saja belajar, memperbaiki diri, menjadi diri sendiri,
perbaiki niat menikah semata untuk ibadah, selisihi hawa nafsu dan
tentunya sabar. Terus saja belajar fiqh keluarga, ilmu
parenting tentang hak dan kewajiban dalam pernikahan serta cara mendidik
anak. Banyak yang gagal bukan karena kurang ilmu, tapi juga kurang
iman. Jangan galau atau risau, akan ada waktunya. Sekalipun sudah
menikah, pertanyaan tetap akan didengar. Seperti, kapan punya anak? Udah
hamil belum? Anaknya berapa? Kenapa gak nambah? Kapan punya
mobil? Kapan punya rumah dan begitulah nenek moyang mewariskan
pertanyaan konyol. Sudah pasti, rumput tetangga selalu lebih hijau dari
pekarangan rumah sendiri. Agar rumput dipekaranganmu hijau juga, rawat
dengan baik dan tentunya syukuri yang ada.
Tugasmu hanyalah menjadi singgelillah yang berkualitas, perbanyak ilmu, asah dan kembangkan skill menjadi karya dan prestasi. Tetap husnudzon kepada takdir dan ketetapan Allah. Sebab yang harus menjadi bagianmu tidak akan tertukar atau diambil alih oleh orang lain apalagi sampai berpindah ke tangan orang lain.
Semoga bermanfaat, mari sama-sama belajar.
Komentar
Posting Komentar